Sabtu, 02 Juni 2012

MAKALAH SUPERVISI KLINIS


A. Supervisi klinis
            Seorang supervisor pembelajaran yang professional mampu melakukan pendekatan klinis dalam pelaksanaan tugasnya. Kajian dan diskusi mengenai supervise klinis di bidang pendidikan makin intensif akhir-akhir ini. Hal ini membersitkan kuatnya pengakuan atas status supervisor klinis sebagai profesi atau setidaknya subkeahlian dari supervisor pembelajaran. Khususnya Indonesia seharusnya pengawasan memenuhi angka kredit untuk naik jabatan fungsional tertentu membuktikan pengakuan Negara atas profesi ini, meski sangat mungkin substansi masih layak di perdebatkan. Upaya untuk menemukan model atau teknik supervise pembelajaran terbaik akan terus dilakukan, meski sangat mungkin tidak akan benar-benar berhasil menemukannya.
            Tingkat kemandirian guru yang sangat tinggi seringkali menyebabkan mereka tidak merasa perlu lagi kehadiran supervisor. Sementara pengawas, yang karena tugas pokok dan fungsinya, merasa memiliki otonomi untuk mensupervisi guru seperti apa pun. Pengawas memandang aktivitas mensupervisi guru adalah haknya dan keputusan bertindak ada pada sisinya, sedangkan guru tertentu sangat mungkin merasa tidak memerlukan lagi, karena dia sudah memposisikan diri sebagai tenaga professional sungguhan.
            Supervisi klinis di bidang kependidikan di sini tidak hanya diilhami oleh prinsip-prinsip klinikal di bidang kedokteran, melainkan juga beranjak dari ajaran psikolog. Di dalam praktik klinikal yang dilakukan oleh psikolog, tindakan diagnose, terapi, dan penyembuhan secara psikologis bukan lagi fenomena baru.
            Mengikuti logika itu, pelaksanaan supervisi klinis untuk meningkatkan  kemampuan professional guru dilakukan melalui tahapan-tahapan: (a) praobservasi yang berisi pembicaraan dan kesempatan, antara supervisor dengan guru mengenai apa permasalahan yang dihadapi oleh guru atau apa yang akan diamati dan diperbaiki dari pengajaran yang dilakukan; (b) observasi, yaitu supervisor mengamati guru dalam mengajar sesuai dengan fokus yang telah disepakati; (c) analisis permasalahan yang dilakukan secara bersama oleh supervisor dengan guru terhadap hasil pengamatan; dan (d) perumusan langkah-langkah perbaikan, dan pembuatan rencana untuk perbaikan.
            Perwujudan supervisi klinis memang tidak melulu terfokus pada pengembangan professonal guru, melainkan berkaitan juga dengan kesejahtraan, proteksi atas profesi, dan peningkatan hasil belajar siswa.
            Di bidang psikologi supervisi klinis sudah menempuh perjalanan relative panjang. Pada tahun 1929-an, max etingon mendirikan supervisi formal di institut psikoanalisis Berlin. Tahun 1930-an, Rift mendirikan mendirikan sekolah Budapest yang banyak melakukan kejian mengenai supervisi sebagai terapi.

B. Definisi Supervisi Klinis
            Apa suvervisi klinis itu? suvervisi klinis adalah bantuan professional kesejawatan oleh supervisor kepada guru yang mengalami masalah dalam pembelajaran agar yang bersangkutan dapat mengatasi masalahnya dengan menempuh langkah yang sistematis, dimulai dari tahap perencanaan, pengamatan prilaku guru mengajar, analis perilaku, dan tindak lanjut. Supervisi klinis adalah proses bantuan atau terapi professional yang berfokus pada upaya perbaikan pembelajaran melalui proses siklikal yang sistematis dimulai dari perencanaan, pengamatan dan analisis yang intesif terhadap penampilan guru dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran.
            Dari situs www.kkh.com.sg diperoleh rumusan supervisi klinis sebagai “A formal process of professional support and learning that enables individual practitioners to develop knowledge and competence, assume responsibility  for their own practice in a wide range of situations”. suvervisi klinis merupakan sebuah proses formal berbentuk dukungan professional dan belajar yang memungkinkan individu praktis  mengembangkan pengetahuan dan kompetensi,cserta memegang tanggung jawab bagi tindakan-tindakan praktis pada situasi yang lebih luas. Bordersr et al. (1991) merumuskan, “clinical supervision is the construction of individualized learning plans for supervisees working with clients.” Supervisi klinis adalah konstruksi rencana pembelajaran individual bagi yang supervisi agar bisa bekerja efektif dengan kliennya.

 
C. Ciri-ciri Supervisi Klinis
            Perilaku supervisi memandang masalah klien sebagai masalah belajar. Karenanya, hal itu memerlukan dua keahlian. Pertama, identifikasi masalah. Kedua, menyeleksi teknik belajar yang tepat (Leddick & Bernard, 1980). Guru yang disupervisi dapat berpartisipasi sebgai ko-terapi untuk melakukan penguatan. Supervisi klinis termasuk bagian dari supervisi pembelajaran. Perbedaannya dengan supervisi yang lain adalah prosedur pelaksanaanya ditekankan kepada mencari sebab-sebab atau kelemahan yang dilakukan oleh guru selama proses pembelajaran dan kemudian langsung diusahakan perbaikanvsupervisi klinis yang baik bercirikan seperti berikut ini.
1.      Bimbingan supervisor pengajaran kepada guru bersifat hubungan pembantuan, bukan hubungan perintah atau instruksi.
2.      Kesepakatan antara guru dan supervisor tentang apa yang dikaji dan jenis keterampilan yang paling penting merupakan hasil diskusi bersama.
3.      Instrument supervisi klinis dikembangkan dan disepakati bersama antar guru dengan supervisor.
4.      Guru melakukan persiapan dengan mengidentifikasi aspek kelemahan-kelemahannya yang dipandang perlu diperbaiki.
5.      Pelaksanaan supervisi klinis selayaknya teknik observasi kelas
6.      Umpan balik atau balikan diberikan dengan segera dan bersifat obyektif.
7.      Guru hendaknya dapat menganalisis penampilannya.
8.      Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengarkan daripada memerintah atau mengarahkan guru.
9.      Supervisor dan guru berada atau menciptakan kondisi dalam keadaan atau suasana akrab dan terbuka.
10. Supervisor dapat digunakan untuk membentuk atau peningkatan dan perbaikan keterampilan pembelajaran.
  
D. Karakteristik Supervisi Klinis
1.      Perbaikan proses pembelajaran mengharuskan gruru mempelajarari kemampuan intelektual dan keterampilan teknis. Supervisor mendorong guru berprilaku berdasarkan kemampuan intelektual dan keterampilan teknis yang dimilikinya.
2.      Fungsi utama supervisor adalah menginformasikan beberapa kemampuan dan keterampilan seperti : (1) kemampuan dan keterampilan menganalisis proses pembelajaran berdasarkan hasil pengamatan, (2) kemampuan dan keterampilan mengembangkan kurikulum, terutama bahan pembelajaran, (3) Kemampuan dan keterampilan dalam proses pembelajaran, (4) Kemampuan dan keterampilan guru melakukan evaluasi dan tindak lanjut
3.      Berfokus pada (1) Perbaikan mutu proses dan hasil pembelajaran, (2) Perbaikan kinerja guru pada hal-hal spesifik yang masih memerlukan kesempurnaan, dan(3) Upaya perbaikan di dasari atas kesepakatan bersama dan pengalaman masa lampau.
4.      Hubungan pembantuan antara supervisor dengan yang disupervisor mengedepankan dimensi kolegialitas.
5.      Tindakan supervisor menemukan kelemahan atau kekurangan guru semata-mata untuk diperuntukan bagi upaya perbaikan, buakan utuk keperluan penilaian atas prestasi individual guru.

E. Urgensi Supervisi klinis
1.      Mengindarkan guru dari jebakan penurunan motivasi dan kinerja dalam melakukan proses pembelajaran.
2.      Menghindarkan guru dan upaya menutupi kelemahannya sendiri melalui cara-cara dialok terbuka dengan supervisornya.
3.      Menghindara ketiadaan respon dari supervisor atau praktik profesionalyang telah memenuhi standar kompetensi dank ode etik atau yang masih dibawa standar.
4.      Mendorong guru untuk selalu daptif terhadap kemajuan iptek dalam proses pembelajaran.
5.      Menjaga konsistensi guru agar tidak kehilangan identitas diri sebagai penyanggang profesi yang terhormat dan bermanfaat bagi kemajuan generasi
6.      Menjaga konsistensi prilaku guru, agar tidak masuk dalam jabatan kejenuhan professional (bornout), bukan meningkatkannya.
7.      Mendorong guru untuk secara cermat dalam bekerja dan berinteraksi dengan sejawat dan siswa agar terhindar dari pelanggaran kode etik profesi guru.
8.      Menghindarkan guru dari praktik-praktik melakukan atau mengulangi kekeliruan secara massif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
9.      Menghindarkan guru dari erosi pengetahuan yang sudah didapat dari pendidikan prajabatan selama studi di perguruan tinggi.
10. Menghindarkan siswa dari praktik-praktik yang merugikan, karena tidak memperoleh layanan yang memuaskan, baik secara akademik ataupun non akademik.
11. Menjauhkan guru dari menurunnya apresiasi dan kepercayaan siswa, orangtua siswa, masyarakat atau profesi yang mereka sandang.
F. Tujuan Supervisi Klinis
1.      Menjaga konsinstensi motivasi dan kinerja guru dalam melaksanakan proses pembelajaran
2.      Mendororng keterbukaan guru kepada supervisior mengenai kelemahannya sendiri dalam melaksanakan pembelajaran
3.      Menciptakan kondisi agar guru terus menjaga dan meningkatkan mutu praktik professional sesuai standar kompetensi dank ode etik yang telah ditetapkan
4.      Menciptakan kesadaran guru tentang tanggung jawab terhadap pelaksanaan pembelajaran yang berkualitas, baik proses maupun hasilnya
5.      Membantu guru untuk senaantiasa memperbaiki dan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, wawasan umum dan keterampilan khusus yang diperlukan dalam pembelajaran
6.      Membantu guru untuk dpat menemukan cara pemecahan masalah yang ditemukan dalam proses pembelajaran, baik di dalam maupun di luar kelas
7.      Membantu guru untuk dapat menemukan cara pemecahan masalah yang ditemukan dalam proses pembelajaran, sehingga bena-benar meberi nilai tambah bagi siswa dan masyarakat
8.      Membantu guru untuk mengembangkan sikap positif terhadap profesi dalam menegmbangkan diri secara berkelanjutan, baik secara individual  maupun kelompok, dengan cara yang dikembnagkan atau atas inisiatif sendiri.
G. Prinsip-prinsip Supervisi Klinis
1.      Hubungan supervisor dengan guru  disadari sangat kolegialitas yang taat asas.
2.      Setiap  kelemahan dan kesalahan guru semata-mata digunkan untuk tindakan perbaikan, tanpa secara eksplisit melabeli guru belum professional
3.      Menumbuhkembangkan posisi guru, mulai  dari tidak professional sampai professional sungguhan
4.      Hubungan antara supervisor dengan guru dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel
5.      Diskusi dan pengkajian atas umpan balik yang segera atau yang diketahui kemudian bersifat demokratis dan didasarkan pada data hasil pengamatan
6.      Hubungan antara supervisor dengan guru bersifat interaktif, terbuka, objektif, dan tidak bersifat menyalahkan
7.      Pelaksanaan keputusan atau tindakan perbaikan ditetapkan atas kesepakatan atau kerelaan bersama.
H. Bagaimana prosedur supervisi klinis?
Pelaksanaan supervisi klinis berlangsung dalam suatu siklus yang terdiri dari tiga tahap berikut :
·        Tahap perencanaan awal. Pada tahap ini beberapa hal yang harus diperhatikan adalah:
1.      menciptakan suasana yang intim dan terbuka
2.      mengkaji rencana pembelajaran yang meliputi tujuan, metode, waktu, media, evaluasi hasil belajar, dan lain-lain yang terkait dengan pembelajaran,
3.       menentukan fokus obsevasi,
4.      menentukan alat bantu (instrumen) observasi, dan
5.      menentukan teknik pelaksanaan obeservasi.
·        Tahap pelaksanaan observasi. Pada tahap ini beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain:
1.      harus luwes,
2.      tidak mengganggu proses pembelajaran,
3.      tidak bersifat menilai,
4.      mencatat dan merekam hal-hal yang terjadi dalam proses pembelajaran sesuai kesepakatan bersama, dan
5.    menentukan teknik pelaksanaan observasi.
Tahap akhir (diskusi balikan). Pada tahap ini beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:
1. memberi penguatan;
2. mengulas kembali tujuan pembelajara.
3.  mengulas kembali hal-hal yang telah disepakati bersama,
4. mengkaji data hasil pengamatan,
5. tidak bersifat menyalahkan,
6. data hasil pengamatan tidak disebarluaskan,
7. penyimpulan,
8. hindari saran secara langsung, dan
9. merumuskan kembali kesepakatan-kesepakatan sebagai tindak lanjut proses perbaikan.

I. Komunikasi Klinis
Ada dua sikapsupervisor pembelajaran yang mempengaruhi proses berkomunikasi, yaitu sikap yang memnghambat dan sikap yang membantu. Dua sikap pengirim pesan yang menghambat dan membantu proses komunikasi menurut  Jack R. Gibb (1970) dalam “journal of Communication” dituangkan berkit ini.

Sikap menghambat
Evaluasi
Penguasaan
Manipulasi
Tidak memperhatikan
Bersikap super
kaku

Sikap membantu
Deskripsi
Permasalahan
Spontanitas
Member perhatian
Menyamakan diri
Luwes

Evaluasi-Deskripsi
Supervisor yang cenderung meberi penilaian terhadap guru binaannya akan menghadapi reaksi yang defensive dari penerima pesan itu. Sebaliknya, supervisor yang memeberi penjelasan secara deskriptif akan memeperoleh respon positif dari guru binaannya.
Penguasaan-Permasalahan
Supervisor yang bersikap sebagai penguasa atau pimpinan yang otoriter, akan membuat guru binannya menjadi imperior dan defensive. Supervisor yang berbicara bersifat ingin memecahkan berbagai masalah akan disambut secara positif dan konstruktif oleh guru yang disupervisi.
Manipulasi-Spontanitas
Supervisor selaku penyampaian pesan yang bernada manipulative atau bersikap “ada udang di balik batu” akan disambut dengan sikap negative oleh guru dan tidak mungkin menciptakan suasana kuminkatif  antar sesama mereka.

Tidak memperhatikan-Memperhatikan
Sikap dingin supervisor atau penyampai informasi akan ditanggapi oleh guru sebagai penerima informasi secara tidak penuh dan dengan demikian komunikasin tidak penuh dengan demikian komunikasi tidak akan berjalan secara efektif.
Bersikap-Menyamakan diri
Penyampai pesan atau supervisor yang berlagak angkuh atau superiorvtidak akan dapat menyampaikan informasi secara baik kepada guru sebagai penerima pesan, karena maereka akan mempunyai kesan, bahwa supervisor hanya menampakkan egonnya.
Kaku-Luwes
Supervisor yangb hanya berusaha menawarkan keputusan-keputusan sendiri dengan dalih mau dlihat bersikap demokratis akan membuat guru atau penerima informasi jadi negative. Jika supervisor bersikap luwes maka guru akan menerima secara luwes juga.

            Ketidakmampuan supervisor pembelajaran tersebut akan menyebabkan dia maupun guru tidak memperoleh kepuasan akibat tidak adanya perasaan saling mempercayai nsatu sama lain. Factor-factor yang menyebabkan komunikasi antara supervisor pembelajaran dan guru adalah:
1.      factor psikologis, yaitu persepsi dan penapsiran guru yang dibina terhadap stimulus yang ada dari supervisor ditentukan oleh tingkatan emosi dan sifat pribadi seorang supervisornya
2.      factor biofisikal,
3.      factor psikofisikal
4.      factor sosiokultural
 dan masih banyak lagi.

Jumat, 01 Juni 2012

MAKALAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan petunjuk, bimbingan dan inayah-Nya, dan tak lupa kami kirimkan salam dan shalawat buat junjungan kita nabi besar Rasulullah SAW yang membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu seperti yang kita rasakan sekarang,  sehingga kami dapat menyelesaikan makalah sederhana ini dengan judul “Masalah yang Mendesak untuk Diatasi pada Remaja” dimana makalah ini dibuat sebagai pelengkap Mata Kuliah dari perkembangan peserta didik.
            Makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi pembaca khusunya bagi kami sebagai penulis. Dan tak lupa pula saya mengucapkan banyak terimah kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang telah di tetapkan.
            Harapan kami kepada setiap yang membaca makalah ini, jika dalam makalah ini terdapat kekurangan, mohon kritik dan saran dalam hal ini sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah kami ini untuk kedepannya.



BAB I


PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
             Dewasa ini, kenakalan remaja telah menjadi penyakit ganas di tengah-tengah masyarakat, mengingat remaja merupakan bibit pemegang tampuk pemerintahan negara di masa depan. Lebih parah, berbagai kasus kenakalan remaja tersinyalir telah meresahkan masyarakat, semisal kasus pencurian, kasus asusila seperti free sex, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Oleh berbagai praktisi media bahkan para pemerhati sosial hal ini telah banyak digubris dan dicari benang merahnya. Hanya saja, sejauh ini usaha tersebut belum terlihat goal dan terkesan hanya sebagai bahan berita di media massa dan diskursus oleh berbagai kalangan yang belum ada realisasi khusus.
Sejatinya, kenakalan semacam itu normal terjadi pada diri remaja karena pada masa itu mereka sedang berada dalam masa transisi: anak menuju dewasa. Seperti pemikiran Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 1985: 73), perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal. Terkait dengan kenakalan remaja, dalam bukunya yang berjudul “Rules of Sociological Method” disebutkan bahwa dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena tidak mungkin dihapusnya secara tuntas. Dengan demikian, perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan dilihat pada suatu perbuatan yang tidak disengaja. Namun, kontras dengan pemikiran tersebut, kenyataan yang akhir-akhir ini terjadi adalah kenakalan remaja yang disengaja, yakni dilakukan dengan kesadaran. Miris!
B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apakah itu masa remaja ?
2.      Bagaimana karakteristik remaja itu ?
3.      Permasalahan-permasalahan apa yang terjadi pada usia remja?
4.      Bagaiman cara mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi pada masa remaja?




BAB II

PEMBAHASAN

A.    Masa Remaja


            Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan tidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan lingkungan.
            Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja, mereka juga dihadapkan pada tugas-tugas yang berbeda dari tugas pada masa kanak-kanak. Sebagaimana diketahui, dalam setiap fase perkembangan, termasuk pada masa remaja, individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Apabila tugas-tugas tersebut berhasil diselesaikan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan, kebahagian dan penerimaan dari lingkungan. Keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas itu juga akan menentukan keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya.
            Hurlock (1973) memberi batasan masa remaja berdasarkan usia kronologis, yaitu antara 13 hingga 18 tahun. Menurut Thornburgh (1982), batasan usia tersebut adalah batasan tradisional, sedangkan alran kontemporer membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun.
            Perubahan sosial seperti adanya kecenderungan anak-anak pra-remaja untuk berperilaku sebagaimana yang ditunjukan remaja membuat penganut aliran kontemporer memasukan mereka  dalam kategori remaja. Adanya peningkatan kecenderungan para remaja untuk melanjutkan sekolah atau mengikuti pelatihan kerja (magang) setamat SLTA, membuat individu yang berusia 19 hingga 22 tahun juga dimasukan dalam golongan remaja, dengan pertimbangan bahwa pembentukan identitas diri remaja masih terus berlangsung sepanjang rentang usia tersebut.



B.     Karakteristik Remaja


Sebagai periode yang paling penting, masa remaja ini memiliki karakterisitik
yang  khas  jika  dibanding  dengan  periode-periode  perkembangan  lainnya.  Adapun rinciannya adalah sebagai berikut  :

a.  Masa remaja adalah periode yang penting
Periode ini dianggap sebagai masa penting karena memiliki dampak langsung dan dampak jangka panjang dari apa yang terjadi pada masa ini. Selain itu, periode ini pun  memiliki  dampak  penting  terhadap  perkembangan  fisik  dan  psikologis individu,  dimana  terjadi  perkembangan  fisik  dan  psikologis  yang  cepat  dan penting.  Kondisi  inilah  yang  menuntut  individu  untuk  bisa  menyesuaikan  diri secara  mental  dan  melihat  pentingnya  menetapkan  suatu  sikap,  nilai-nilai  dan minta yang baru.  
b.  Masa remaja adalah masa peralihan
Periode  ini  menuntut  seorang  anak  untuk  meninggalkan  sifat-sifat  kekanak-kanakannya dan harus mempelajari pola-pola perilaku dan sikap-sikap baru untuk menggantikan  dan  meninggalkan  pola-pola  perilaku  sebelumnya.  Selama
peralihan dalam periode ini, seringkali seseorang merasa bingung dan tidak jelas mengani  peran  yang  dituntut  oleh  lingkungan.  Misalnya,  pada  saat  individu menampilkan  perilaku anak-anak  maka  mereka akan  diminta untuk  berperilaku sesuai dengan usianya, namun pada kebalikannya jika individu mencoba untuk berperilaku  seperti  orang  dewasa  sering  dikatakan  bahwa  mereka  berperilaku terlalu dewasa untuk usianya.      
c.  Masa remaja adalah periode perubahan
Perubahan yang terjadi pada periode ini berlangsung secara cepat, peubahan fisik yang cepat membawa konsekuensi terjadinya perubahan sikap dan perilaku yang
juga cepat. Terdapat lima karakteristik  perubahan  yang khas  dalam periode ini yaitu,  (1)  peningkatan  emosionalitas,  (2)  perubahan  cepat  yang  menyertai kematangan  seksual,  (3)  perubahan  tubuh,  minat  dan  peran  yang  dituntut  oleh lingkungan  yang  menimbulkan  masalah  baru,  (4)  karena  perubahan  minat  dan pola  perilaku  maka  terjadi  pula  perubahan  nilai,  dan  (5)  kebanyakan  remaja merasa ambivalent terhadap perubahan yang terjadi.    
d.  Masa remaja adalah usia bermasalah
Pada periode ini  membawa masalah  yang  sulit untuk ditangani baik  bagi anak laki-laki maupun perempuan. Hal ini disebabkan oleh dua lasan yaitu : pertama, pada saat anak-anak paling tidak sebagian masalah diselesaikan oleh orang tua atau  guru,  sedangkan  sekarang  individu  dituntut  untuk  bisa  menyelesaikan masalahnya sendiri. Kedua, karena mereka dituntut untuk mandiri maka seringkali menolak  untuk  dibantu  oleh  orang  tua  atau  guru,  sehingga  menimbulkan kegagalan-kegagalan dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
e.  Masa remaja adalah masa pencarian identitas diri
Pada periode ini, konformitas terhadap kelompok sebaya memiliki peran penting bagi remaja. Mereka mencoba mencari identitas diri dengan berpakaian, berbicara dan  berperilaku  sebisa  mungkin  sama  dengan  kelompoknya.  Salah  satu  cara remaja  untuk  meyakinkan  dirinya  yaitu  dengan  menggunakan  simbol  status,
seperti mobil, pakaian dan benda-benda lainnya yang dapat dilihat oleh orang lain.  
f.  Masa remaja adalah usia yang ditakutkan
Masa  remaja  ini  seringkali  ditakuti  oleh  individu  itu  sendiri  dan  lingkungan. Gambaran-gambaran  negatif  yang  ada  dibenak  masyarakat  mengenai  perilaku remaja mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan remaja. Hal ini membuat para  remaja  itu  sendiri  merasa  takut  untuk  menjalankan  perannya  dan  enggan meminta bantuan orang tua atau pun guru untuk memecahkan masalahnya. 
g.  Masa remaja adalah masa yang tidak realistis
Remaja  memiliki  kecenderungan  untuk  melihat  hidup  secara  kurang  realistis, mereka  memandang  dirinya  dan  orang  lain  sebagaimana  mereka  inginkan  dan bukannya sebagai dia sendiri. Hal ini terutama terlihat pada aspirasinya, aspiriasi yang tidak realitis ini tidak sekedar untuk dirinya sendiri namun bagi keluarga, teman.  Semakin  tidak  realistis  aspirasi  mereka  maka  akan  semakin  marah  dan kecewa apabila aspirasi tersebut tidak dapat mereka capai.
h.  Masa remaja adalah ambang dari masa dewasa
Pada saat remaja mendekati masa dimana mereka dianggap dewasa secara hukum, mereka merasa cemas dengan stereotype remaja dan menciptakan impresi bahwa mereka  mendekati  dewasa.  Mereka  merasa  bahwa  berpakaian  dan  berperilaku seperti  orang  dewasa  sringkali  tidak  cukup,  sehingga  mereka  mulai  untuk memperhatikan  perilaku  atau  simbol  yang  berhubungan  dengan  status  orang dewasa  seperti merokok,  minum, menggunakan obat-obatan  bahkan  melakukan hubungan seksual.

C.    Permasalahan-Permasalahan Yang Ada Pada Remaja


Tidak semua remaja dapat memenuhi tugas-tugas tersebut dengan baik. Menurut Hurlock (1973) ada beberapa masalah yang dialami remaja dalam memenuhi tugas-tugas tersebut, yaitu:
  1. Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di rumah, sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan nilai-nilai.
2.      Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas pada remaja, seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih sedikit kewajiban dibebankan oleh orangtua.

v  Kutub Keluarga ( Rumah Tangga)

            Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, dikemukakan bahwa anak/remaja yang dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang tidak baik/disharmoni keluarga, maka resiko anak untuk mengalami gangguan kepribadian menjadi berkepribadian antisosial dan berperilaku menyimpang lebih besar dibandingkan dengan anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga sehat/harmonis (sakinah).
            Kriteria keluarga yang tidak sehat tersebut menurut para ahli, antara lain:
a.       Keluarga tidak utuh (broken home by death, separation, divorce)
b.      Kesibukan orangtua, ketidakberadaan dan ketidakbersamaan orang tua dan anak di rumah
c.       Hubungan interpersonal antar anggota keluarga (ayah-ibu-anak) yang tidak baik (buruk)
d.      Substitusi ungkapan kasih sayang orangtua kepada anak, dalam bentuk materi daripada kejiwaan (psikologis).

Selain daripada kondisi keluarga tersebut di atas, berikut adalah rincian kondisi keluarga yang merupakan sumber stres pada anak dan remaja, yaitu:
a.       Hubungan buruk atau dingin antara ayah dan ibu
b.      Terdapatnya gangguan fisik atau mental dalam keluarga
c.       Cara pendidikan anak yang berbeda oleh kedua orangtua atau oleh kakek/nenek
d.      Sikap orangtua yang dingin dan acuh tak acuh terhadap anak
e.       Sikap orangtua yang kasar dan keras kepada anak
f.       Campur tangan atau perhatian yang berlebih dari orangtua terhadap anak
g.      Orang tua yang jarang di rumah atau terdapatnya isteri lain
h.      Sikap atau kontrol yang tidak konsisiten, kontrol yang tidak cukup
i.        Kurang stimuli kongnitif atau sosial
j.        Lain-lain, menjadi anak angkat, dirawat di rumah sakit, kehilangan orang tua, dan lain sebagainya.

Sebagaimana telah disebutkan di muka, maka anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga sebagaimana diuraikan di atas, maka resiko untuk berkepribadian anti soial dan berperilaku menyimpang lebih besar dibandingkan dengan anak/maja yang dibesarkan dalam keluarga yang sehat/harmonis (sakinah).

v  Kutub Sekolah


            Kondisi sekolah yang tidak baik dapat menganggu proses belajar mengajar anak didik, yang pada gilirannya dapat memberikan “peluang” pada anak didik untuk berperilaku menyimpang. Kondisi sekolah yang tidak baik tersebut, antara lain;
a.       Sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai
b.      Kuantitas dan kualitas tenaga guru yang tidak memadai
c.       Kualitas dan kuantitas tenaga non guru yang tidak memadai
d.      Kesejahteraan guru yang tidak memadai
e.       Kurikilum sekolah yang sering berganti-ganti, muatan agama/budi pekerti yang kurang
f.       Lokasi sekolah di daerah rawan, dan lain sebagainya.

v  Kutub Masyarakat (Kondisi Lingkungan Sosial)

            Faktor kondisi lingkungan sosial yang tidak sehat atau “rawan”, dapat merupakan faktor yang kondusif bagi anak/remaja untuk berperilaku menyimpang. Faktor kutub masyarakat ini dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu pertama, faktor kerawanan masyarakat dan kedua, faktor daerah rawan (gangguan kamtibmas). Kriteria dari kedua faktor tersebut, antara lain:
a.       Faktor Kerawanan Masyarakat (Lingkungan)
1)      Tempat-tempat hiburan yang buka hingga larut malambahkan sampai dini hari
2)      Peredaran alkohol, narkotika, obat-obatan terlarang lainnya
3)      Pengangguran
4)      Anak-anak putus sekolah/anak jalanan
5)      Wanita tuna susila (wts)
6)      Beredarnya bacaan, tontonan, TV, Majalah, dan lain-lain yang sifatnya pornografis dan kekerasan
7)      Perumahan kumuh dan padat
8)      Pencemaran lingkungan
9)      Tindak kekerasan dan kriminalitas
10)  Kesenjangan sosial

b.      Daerah Rawan (Gangguan Kantibmas)
1)      Penyalahgunaan alkohol, narkotika dan zat aditif lainnya
2)      Perkelahian perorangan atau berkelompok/massal
3)      Kebut-kebutan
4)      Pencurian, perampasan, penodongan, pengompasan, perampokan
5)      Perkosaan
6)      Pembunuhan
7)      Tindak kekerasan lainnya
8)      Pengrusakan
9)      Coret-coret dan lain sebagainya

Kondisi psikososial dan ketiga kutub diatas, merupakan faktor yang kondusif bagi terjadinya kenakalan remaja.

D.    Cara mengatasi permasalahan yang terjadi pada masa remaja


a.    Peran pendidikan dalam mengatasi permasalahn remaja
1. Memahami permasalahan pada remaja serta upaya penanganannya.
2. Mengetahui upaya yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional dalam  mengatasi permasalahan remaja.
s                 Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan Nasional, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mecapai tujuan pendidikan tersebut diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas yang antara lain diwujudkan dengan menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat bagi para peserta didik baik yang tertampung dalam sistem pendidikan formal maupun yang mengikuti jalur pendidikan non formal.
b.      Peran orang tua dalam menagani permasalahan remaja
1.      Perlunya kasih sayang dan perhatian dari orang tua dalam hal apapun.
2.      Adanya pengawasan dari orang tua yang tidak mengekang. contohnya: orang tua boleh saja membiarkan anak atau remaja  melakukan apa saja yang masih sewajarnya, dan apabila menurut pengawasan orang tua, remaja tersebut telah melewati batas yang sewajarnya, orangtua perlu memberitahu anaknya dampak dan akibat yang harus ditanggungnya bila anak terus melakukan hal yang sudah melewati batas tersebut.
3.      Biarkanlah dia bergaul dengan teman yang sebaya, yang hanya beda umur 2 atau 3 tahun baik lebih tua darinya. Karena apabila kita membiarkan dia bergaul dengan teman main yang sangat tidak sebaya dengannya, yang gaya hidupnya sudah pasti berbeda, maka dia pun bisa terbawa gaya hidup yang mungkin seharusnya belum perlu dia jalani.
4.      Pengawasan yang perlu dan intensif terhadap media komunikasi seperti tv, internet, radio, handphone, dll.
5.      Perlunya bimbingan kepribadian di sekolah, karena disanalah tempat anak lebih banyak menghabiskan waktunya selain di rumah.
6.       Perlunya pembelanjaran agama yang dilakukan sejak dini, seperti beribadah dan mengunjungi tempat ibadah sesuai dengan iman kepercayaannya.
7.       orang tua  perlu mendukung hobi yang anak inginkan selama itu masih positif untuk si anak. Jangan pernah orang tua mencegah hobi maupun kesempatan anak mengembangkan bakat yang mereka sukai selama bersifat Positif. Karena dengan melarangnya dapat menggangu kepribadian dan kepercayaan diri anak tersebut.
8.   Orang tua harus menjadi tempat curhat yang nyaman untuk anaknya, sehingga orang tua dapat membimbing anaknya ketika ia sedang menghadapi masalah.     
Dan ketika orang tua otoriter maka kenakalan remaja akan muncul dalam arti ingin memberontak. Sedangkan ketika orang tua permisif, remaja malah akan mencari-cari perhatian dengan segala tingkah lakunya yang kemungkinan besar menjurus ke kenakalan remaja. Biarkanlah dia bergaul dengan teman yang sebaya, yang hanya beda umur 2 atau 3 tahun baik lebih tua darinya. Karena apabila kita membiarkan dia bergaul dengan teman main yang sangat tidak sebaya dengannya, yang gaya hidupnya sudah pasti berbeda, maka dia pun bisa terbawa gaya hidup yang mungkin seharusnya belum perlu dia jalani.
c.       Peran guru dalam mengatasi masa remaja
Sejak pertama lahir di dunia, manusia terus mengalami proses sosialisasi dengan lingkungan disekitarnya. Pertama kali manusia mengalami sosialisasi di dalam lingungan keluarga dimana manusia mendapatkan kasih sayang dan nilai-nilai dasar yang berguna untuk kehidupannya kelak, seperti moral, budi pekerti, akhlak dan sopan santun. Perkembangan ini selanjutnya mengarah pada sosialisasi lingkungan, dimana merupakan tempat bermain dalam masa kanak-kanak. Hal ini merupkan perkembangan anak yang dimana perkembangan ini akan dilan jutkan dalam lingkungan sekolah, dimana orang tua memberikan tanggung jawab kepada sekolah sebahagi lingkungan pendidikan, atau lingkungan sosialisasi yang baru kepada anak.
Dan guru, sebagai salah satu komponen dari lembaga tersebut, seharusnya bukan hanya menitik beratkan pada transfer ilmu kepada siswanya tetapi juga harus bisa membentuk karakter siswa yang jauh dari hal-hal negatif, sehingga pantas menjadi calon pemimpin di masa yang akan datang, bukan membentuk generasi “rusak” yang penuh dengan kenakalannya. Berikut adalah 9 peran guru untuk membantu mengatasi permasalahn yang sering terjadi pada masa remaja antara lain:
a. Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum.
b. Organisator, guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan lain-lain.
c. Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar.
d. Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
e. Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar.
f. Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan pengetahuan.
g. Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar.
h. Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.
i. Evaluator, guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.